(Tetap) Bahagia dengan Corona

Oleh : Yani Nurya Saputri (Ketua Departemen Organisasi PW Muslimat Hidayatullah Sulawesi Barat)

Bagi saya yang merasakan hidup dalam masa masa pandemi ini pertama kalinya atau mungkin pertama kalinya juga dalam peradaban manusia, efek dari sistem hidup kemudian banyak orang dihinggapi rasa cemas dan itu –menurut saya- manusiawi saja.

Ayo Berkontribusi, Bersama Wujudkan Misi Dakwah Besar!

Kita sama sama menginginkan kecemasan itu tidak berujung nekat atau kehabisan asa untuk hidup lalu mengambil sikap dan langkah pendek untuk mengakhiri semua keadaannya.

Kabar datang dari semua media, baik cetak elektronik termasuk akun akun jejaring sosial ikut menyumbang rasa cemas bahkan beberapa kasus kecemasan memicu turunnya imunitas seseorang dan berakhir postitif terjangkit virus apapun termasuk Corona Virus Disaste 2019 atau yang lazim dikenal Covid 19.

Ah, kok justeru mulai menjelaskan sesuatu yang orang juga ramai – ramai mengenalnya dari semua media. Setidaknya yakin tidak rugi kalau mengulaskan di sini meski dari sisi lain yaitu episode demi episode kecil yang terjadi di keluarga.

Jauh di luar sana, di keramaian ibukota negeri ini terdengar berita tenaga medis meninggal setelah puluhan jam non stop menghabiskan waktunya menangani beberapa pasien pasien Covid 19 dan lebih jauh lagi di negeri yang penduduknya bermata sipit tentang keluhan penggali kubur kelelahan bekerja dan dalam sehari harus menggali lebih 100 lubang.
Seolah berita berita itu tidak mengizinkan kita mendekat di keluarga sebagai basis sumber kekuatan melawan semua jenis virus. Sebagaimana diketahui di awal, bahwa sikap positif manusia mampu meningkatkan imunitas tubuh.

Kedekatan semua anggota keluarga adalah vitamin, saya lebih suka menyebut begitu. Ada anggota keluarga mungkin anak yang sedang mondok di luar pulau atau figur ayah yang lebih sering abstain dalam rumah justeru menambah manis dan menambah efek postif dalam bersikap.

Tentu dengan memaksimalkan fungsi positif gadget adalah pilihan arif dalam masa – masa seperti sekarang ini. Sesekali menyapa suami dalam perjalanan atau di sela waktu kerjanya dan menjadwalkan secara rutin memberi motivasi kepada si Abang yang sedang menuntut ilmu di pulau seberang juga bisa menjaga rasa bahagia itu.

Belum lagi menjaga kualitas sholat, memperbaiki bacaan al Quran, mengontrol tugas belajar anak di rumah sembari ‘menikmati’ tumpukan pakaian dan melipatinya satu demi satu hingga hafalan si kecil tuntas dalam surah surah pendeknya.

Rutinitas di masa pandemik Covid 19 ini jauh tidak sama dengan kenormalan kenormalan sebelumnya. Kali ini harus ekstra ketat untuk meyakinkan si kecil tetap ikut sholat berjamaah di masjid dengan atribut masker tambahan yang ia sendiri risih dengannya.

Belum lagi kakak yang sejak tamat di taman kanak kanak tanpa acara wisuda sudah banyak protes meski sejurus kemudian dapat diyakinkan bahwa untuk tamat di sekolahnya tidak harus merayakannya dengan kalungan bunga dan kejutan kecil ternyata mampu mendongkrak semangatnya untuk masuk ke jenjang sekolah dasar di kampus yang sama.

Membuat bingkisan yang sejak belanja, pengepakan dan mengantar ia lakukan dengan dampingan yang kami lakukan agar si kakak merasa sudah punya sikap simpatik terutama kepada guru yang selama ini mengajarinya banyak hal di taman kanak kanak.

Penerapan pembatasan sosial berskala besar di kota kota lain sebenarnya sempat membuat warga di pedesaan bahkan dipedalaman hampir ikut ikutan. Setidaknya kabar itu juga beralasan untuk cemas, tetapi syukurnya hari ini rakyat di negara ini sudah mulai pintar.

Pintar karena sering mendapati keadaan yang tidak sesuai dengan harapan lalu masing – masing mencari cara untuk hidup layak di masa yang tidak sama dengan kenormalan sebelumnya.

Pak Yanto masih saja bersawah dan dengan pekerjaannya itu ia bisa menabung meski tidak seprti tahun tahun sebelumnya karena harga pupuk dan bibit meningkat sedangkan hasil panen enggan menampakkan kenaikannya.
Bu Atik juga masih suka memberi tetangganya makanan ringan atau olahan khusus lalu wadah tadi oleh tetangga tidak dibiarkan kosong kembali ke rumahnya dan model seperti itu lazim di tempat kami tingal.

Irama kehidupan tetap harus dinikmati agar alurnya searah dengan tujuan hidup ini yang semua orang menginginkan happy ending. Dan sejatinya keluarga tetap menjadi basis utama dalam menciptakan gaya hidup positif yang penuh dengan nilai – nilai cinta.

Dari rumah sudah harus bahagia dengan kondisi yang berbeda beda namun tetap meningkatkan upaya mendapatkan kenormalan yang semakin dekat dengan sang Pencipta karena sesungguhnya makhluk mikroskopik itu juga ciptaan Allah taala sebagaimana kucing, rusa dan harimau sekalpiun bisa ditundukkan dengan cara cara tertentu.

Bahagianya harus sama sama satu keluarga bahkan kalau perlu satu lingkungan dan negeri ini kalau perlu persis seperti yang dicontohkan oleh manusia paripurna Muhammad SAW. yang menjadikan rumahnya sebagai surga.

Tentu tidak semudah menulisnya di laman facebook atau mengucapkan “Rumahku, Surgaku”. Dalam kehidupan rumah banyak kenyataan yang tidak sama dalam pernyataan yang selalu lebih mencitrakan manis dan indah meski cara itu adalah langkah awal yang baik yakni bertindak positif.

Tetap saja, semua kondisi yang dijalani harus berdasar pada rasa yang selalu mengarah kepada bahagia dan harus bahagia. Karena bahagia yang dimaksud hanya bisa didapat dengan cara mengembalikan jiwa ini kepada fitrahnya. Membiasakan tilawah memenuhi ruang rumah, sedekah adalah gaya hidup penghuninya dan tetap berkreasi dalam masa masa pembatasan.

Bumi Manakarra, 18 Maret 2020

(Untaian Aksara Bunda (Catatan Inspirasi di Masa Pandemi), copyright© Muslimat Hidayatullah cetakan pertama, 2020. Diterbitkan oleh : CV. Wonderland Family Publiser)

×