Oleh Irawati Istadi
KEMAMPUANNYA yang menonjol di antara santri putri lain di Hidayatullah Surabaya saat itu, membuat saya memilihnya untuk menjadi pengajar utama di KB-TK Yaa Bunayya. Keramahan dan kepandaiannya bercengkrama dengan anak-anak menjadikannya sebagai guru idola. Ratusan anak telah lahir dari didikan tangan lembutnya kala itu.
Ketika ia harus hijrah ke Jakarta, mengikuti tugas suami, tugasnya pun menjadi semakin berat. Namun, dengan tegar wanita tangguh ini mampu melewatinya, satu demi satu.
Kebanggaan kami terhadap kualitas kekaderannya telah sampai pada puncaknya, dia seakan tiada cela. Saya minta kepada siapapun, bahkan kepada anak-anak saya, untuk senantiasa menjadikannya sebagai inspirasi.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (Al Baqarah [2]: 154)
Ketika memandikan jenazah sahabat yang amat kucintai ini, kulihat wajahnya yang manis hanya seperti sedang tertidur. Saya pun teringat ayat tersebut, dan meyakini bahwa sahabatku ini syahid, dan ia tidaklah mati, namun tetap hidup dalam lindungan Allah Ta’ala, dalam jannahNya.
Wajah yang sangat murah senyum itu, bahkan terus tersenyum sampai akhir hayatnya. Senyum khas yang senantiasa menghibur jika di antara kami, teman-teman seperjuangannya di jajaran pengurus pusat Mushida, sedang ada yang kesusahan, sedang menghadapi musibah atau masalah. Dia yang selalu terdepan dalam memberikan empati kepada orang lain, dan menjadi teman curhat terasyik bagi siapa pun yang butuh tempat berkeluh kesah.
Kehadirannya bagai malaikat, memberi solusi bagi orang lain, padahal kami faham kisah perjalanan hidup beliau bahkan lebih berat dan lebih perih daripada yang kami alami. Namun hebatnya, ketegarannya membuatnya selalu mampu tersenyum paling tulus, justru di saat dirinya menghadapi ujian. Sehingga ia nampak seperti orang yang paling bahagia di antara kami. Semoga, Allah benar-benar memberikan kebahagiaan yang sempurna itu kini, di sisi-Nya.
Hingga akhir hayatnya, ia tak mau menyusahkan orang lain. Hingga di tengah malam saat oksigen yang tersedia sudah menipis, diantar suaminya yang menyupir sendiri ambulance pinjaman, berkeliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain, sebanyak 9 rumah sakit, namun tak satupun yang bisa menerima karena full semua. Akhirnya terpaksa pulang dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di pintu masuk rumahnya, pukul 23.30 WIB.
Allah Ta’ala memanggilnya, di saat ia menjadi salah satu orang yang paling baik di antara kami, dan yang paling kami butuhkan dalam perjuangan ini. Ibarat burung, sayap kami kini seakan telah patah, entah kapan kami bisa terbang kembali.
Hanya kepada Allah kami bisa berharap, berilah sahabat kami tempat terindah, pertemukan ruhnya dengan NabiMu, dengan ruh orang-orang shaleh yang dicintai dan mencintainya.
Selamat jalan, sahabatku tercinta, Leny Syahnidar Djamil. Semoga Allah pertemukan kita nanti di jannahNya. *
(IRAWATI ISTADI, penulis adalah Anggota Majelis Penasehat Mushida, sahabat almarhumah Leny Syahnidar Djamil)