Oleh: Abdurrohim Syamsu Rizal
Historisitas Silatnas
Hidayatullah sebagai organisasi massa Islam di Indonesia akan mengadakan perhelatan akbar, yaitu Silaturrahim Nasional pada tahun ini. Secara historis kegiatan Silatnas Hidayatullah sudah dilakukan sejak di masa Allahu Yarham K.H. Abdullah Said. Di tahun 70 dan 80-an, kegiatan silaturrahim nasional dipusatkan di Karang Bugis, karena Karang Bugis telah menjadi pusat perkantoran dan manajemen operasional Hidayatullah yang kala itu masih mengidentifikasi sebagai jaringan pesantren. Di tahun 1990-an kegiatan Silatnas dipusatkan di kampus Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, yang di masa itu telah menjadi kampus pusat bagi ratusan cabang-cabang Hidayatullah se-Indonesia.
Di era Allahu Yarham K.H. Abdullah Said, kegiatan Silatnas adalah medium konsolidasi, transformasi, dan akselerasi ekspansi. Konsolidasi yang dilakukan meliputi konsolidasi ideologi, wawasan, dan organisasi, yang dibahasakan oleh K.H. Abdullah Said dengan terminologi penajaman garis komando. Adapun proses transformasi yang dilakukan adalah kegiatan tour of duty para petugas Hidayatullah di tempat tugas, yang tidak hanya menyasar para pemimpin di cabang Hidayatullah, tapi juga pada level di bawahnya yang biasanya naik kelas berkarir menjadi pemimpin cabang Hidayatullah di daerah. Karena itu kegiatan Silatnas terasa menjadi sangat menegangkan dan memicu adrenalin kejuangan seluruh peserta. Karena diujung kegiatan Silatnas ada pembacaan SK rooling penugasan, yang juga menandakan bahwa seluruh kader Hidayatullah harus siap sedia menjaga spirit resiliensi-nya di tempat tugas baru yang lebih berat dan lebih menantang. Dari kegiatan konsolidasi dan transformasi inilah terjadi proses akselerasi ekspansif gerakan Hidayatullah dan mampu tersebar dengan cepat ke penjuru Nusantara.
Setelah Hidayatullah bertransformasi dari jaringan pesantren menjadi organisasi massa di tahun 2000, kegiatan silatnas menjadi perhelatan kultural secara Nasional, beririsan dengan kegiatan Munas Hidayatullah yang keduanya menjadi event lima tahunan. Di mana sebelum menjadi ormas, kegiatan silatnas menjadi event tiga tahunan, yang biasanya dirangkai dengan kegiatan Nikah Mubarakah santri dan kader Hidayatullah serta menghadirkan tokoh-tokoh nasional ke kampus pusat Gunung Tembak.
Visi Membangun Peradaban
Setelah menjadi ormas, Hidayatullah menetapkan visi besarnya yaitu “Membangun Peradaban Islam.” Suatu visi yang sangat singkat dan lugas, yaitu penegasan bahwa cita-cita besar Hidayatullah adalah melakukan rekonstruksi kembali bangunan peradaban Islam yang pernah dirintis dan dibangun oleh Nabi Muhammad S.A.W. beserta para sahabatnya di kota Madinah. Konteks peradaban disini bukan semata dimaknai dengan bangunan megah dan instrument fisik sebagaimana kemajuan ilmu pengetahuan pada masa keemasan peradaban Islam pada abad kesembilan di kota Baghdad, Mesir, dan Cordova Andalusia. Peradaban yang dimaksud dibahasakan dengan terminologi “Manivestasi Iman dalam Segenap Aspek Kehidupan.”
Terminologi tersebut kemudian diaplikasikan dalam bentuk tindakan dan kerja-kerja nyata di lapangan.
Sebagaimana slogan yang diwariskan oleh Allahu Yarham K.H. Abdullah Said, “Sampai jumpa di alam kenyataan, Bukan di alam Pernyataan.” Satu kesadaran bahwa kenyataan adalah realitas immanen yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata, tidak berhenti pada slogan bombastis atau diksi semantik utopis yang indah di bibir dan konsepsi saja. Hidayatullah juga sangat memahami bahwa ada tiga unsur pembangun dalam sebuah peradaban, yaitu adanya manusia, lokasi atau tanah, dan waktu. Dalam hal ini, sepanjang lima puluh tahun terakhir ini, Hidayatullah sebagai gerakan Islam berbasis massa dan kader melakukan fokus program pada tiga aspek tersebut. Sejak dirintis di tahun 70-an Hidayatullah sudah melakukan upaya rekruitmen kader, atau menjaring sumberdaya insani yang memiliki loyalitas atau militansi dalam gerakan dakwah dan tarbiyah. Loyalitas tersebut bisa terbangun karena dibingkai oleh spirit kepemimpinan dan ketaatan pada kebijakan organisasi. Untuk menopang kegiatan kaderisasi maka Hidayatullah juga mencari lokasi atau tanah yang dirintis untuk dijadikan pesantren sebagai wadah “kawah candradimuka” dalam mencetak kader-kader baru untuk menjadi tulang punggung keberlangsungan organisasi dan proses regenerasi. Dalam hal efisiensi waktu, Hidayatullah telah membuktikan bahwa pencapaian atau prestasi dalam ekspansi dan kaderisasi bisa terjadi karena pemanfaatan waktu secara maksimal. Bahkan kegiatan yang menjadi ciri khas santri atau kader Hidayatullah sudah dimulai sejak jam dua dini hari, yaitu menegakkan sholat tahajjud baik secara mandiri maupun berjamaah.
Pilihan Hidayatullah untuk melakukan ekspansi ke penjuru Nusantara dengan mencari lokasi dan tanah untuk dikembangkan menjadi amal usaha Hidayatullah, terinspirasi oleh apa yang ditempuh oleh Rasulullah S.A.W. yang menurut Prof. Fuad Jabali (guru besar Sejarah Islam UIN Syarif Hidayatullah) mampu mengakses tanah kota Madinah seluas tiga hektar akan tetapi mampu bertransformasi menjadi Daulah, Imarah, Sultaniyah, bahkan Khilafah, yang kelak menjadi sistem politik dalam peradaban Islam. Bukan dalam konteks sistem politik, justru Hidayatullah menerjemahkan lokasi dan tanah yang telah menjadi lingkungan pesantren sebagai wadah lingkungan Islami untuk menegakkan syariat standar dalam Islam seperti sholat berjamaah, hijab antar lawan jenis dan pola berpakaian Islami, serta penerapan budaya Islam lainnya. Di sisi lain keberadaan lokasi dan tanah menjadi wadah bagi Hidayatullah untuk mewujudkan Islam yang bukan sekedar menjadi doktrin, ritual dan konsepsi teologis yang terkadang dimaknai secara rigid dan sophisticated, tapi menampilkan Islam dalam aspek tindakan dan terwujud dalam sistem sosial kemasyarakatan. Sejak menjadi ormas, Hidayatullah juga menetapkan posisi sebagai lembaga terbuka yang bisa diakses oleh siapa saja dan tidak musti terikat dalam sistem sosial kemasyarakatan yang telah dibangun di lokasi dan tanah tersebut. Sehingga kampus-kampus pesantren Hidayatullah yang ada se-Indonesia tidak lagi dipahami sebagai Darul Hijrah secara ideologis dan menjadi enklav sosial yang eksklusif. Saat ini justru pesantren-pesantren yang ada dijadikan sebagai amal usaha pendidikan, dan menjadi pusat suaka generasi, pusat gerakan kaderisasi, untuk melahirkan generasi baru Islam yang mempunyai komitmen membangun peradaban Islam, atau menjadi Rijalud Dakwah, Rijalud Tarbiyah dan Ar-Rijal Ats-Tsaqafah Islamiyah.
Kampus Gunung Tembak Sebagai Template Peradaban
Berbeda dengan Munas Hidayatullah yang pernah dihelat di Balikpapan, Jakarta, dan Makassar, Silatnas Hidayatullah selalu identik dengan kampus Gunung Tembak. Sangat beralasan, karena Gunung Tembak sejak awal dirintis, diperluas hingga 130 hektar dan dibangun untuk menjadi prototipe lingkungan Islamiah seperti kota Madinah, Ilmiah seperti Syanggit di kota Tripoli Libya, dan sangat kuat kesan Alamiah-nya, hingga didapuk untuk mendapat Kalpataru oleh Pak Harto, Presiden kala itu. Lebih dari itu, dalam pelbagai kegiatan roadshow dan Seminar Allahu Yarham K.H. Abdullah Said di Universitas Hasanuddin, Universitas Muslim Indonesia kala itu, selalu menegaskan, bahwa apabila ingin melihat Islam ini diaplikasikan atau diwujudnyatakan, maka datanglah ke kampus Pesantren Hidayatullah Pusat Gunung Tembak.
Eksistensi Gunung Tembak sebagai pusat sejarah Hidayatullah di Indonesia menandakan bahwa spektrum gerakan peradaban Hidayatullah dimulai dari Gunung Tembak. Seperti halnya kota Madinah yang telah menjadi spektrum gerakan peradaban di masa Rasulullah S.A.W. Karena itu pula hingga kini, Kampus Ummul Quro’ Gunung Tembak selalu menetapkan visi besarnya yaitu, Menjadi Miniatur Peradaban Islam. Dengan demikian, ketika Hidayatullah bervisi Membangun Peradaban Islam, maka hal tersebut dibuktikan dengan adanya upaya mewujudkan versi mini dari peradaban Islam. Indikator pelaksanaan peradaban Islam di Madinah terlihat pada penyataan Nabi S.A.W., yaitu: Sebarkan Salam, Sambung Tali Silaturrahim, Beri Makan, dan Sholat di tengah malam, dan indikator sederhana ini sudah diimplementasikan di Kampus Gunung Tembak, lalu ditiru oleh cabang-cabang Hidayatullah se-Indonesia.
Lebih dari itu posisi Gunung Tembak menjadi pusat simulasi dari kegiatan harian dan praktik-praktik penerapan syariat Islam. Kampus Gunung Tembak bahkan mampu menciptakan differensiasi suasana kehidupan yang betul-betul berbeda beberapa radius meter di luar pagar pembatasnya. Maka tak jarang orang-orang yang baru saja datang berkunjung, sangat terkesan dan langsung merasakan atmosfir kehidupan yang sangat berbeda dengan tempat asalnya. Dengan demikian, kampus Gunung Tembak tidak hanya menjadi spektrum gerakan peradaban, tapi juga telah menjadi pusat simulakrum gerakan peradaban, sebagaimana visi besar Hidayatullah. Posisi Gunung Tembak sebagai pusat spektrum dan simulakrum dari visi membangun peradaban Islam ini juga yang membuat kampus Gunung Tembak telah menjadi template bagi upaya membangun peradaban Islam, untuk ditiru oleh cabang-cabang Hidayatulllah yang ada. Bahkan cabang Hidayatullah tertua yaitu di Kabupaten Berau Kalimantan Timur, berusaha menduplikasi template dengan membuat danau buatan sebagaimana yang ada di kampus Gunung Tembak. Posisi kampus Gunung Tembak yang sedemikian penting bagi kader-kader Hidayatullah se-Indonesia, membuat Gunung Tembak tidak pernah akan tergantikan dalam perhelatan akbar seperti Silatnas di tahun ini. Silatnas selain sebagai ajang silaturrahim dan temu kangen antar kader. Tapi juga dalam rangka charging spirit perjuangan para kader di daerah dengan menyerap suasana dan energi ruhani yang terpancar di kampus Gunung Tembak, serta mendapatkan taujih Rabbani melalui Pemimpin Umum Hidayatullah, K.H. Abdurrahman Muhammad.
Silatnas Sebagai Proses Normalisasi Kondisi Homeostatis
Tidak dapat dipungkiri bahwa Hidayatullah telah berusia separuh abad. Dalam rentang waktu tersebut gerakan Hidayatullah mampu bertarung dengan kondisi perubahan jaman, baik secara internal maupun eksternal, dan Hidayatullah terus membangun soliditas, loyalitas, dan militansi agar mampu sustainable pada masa mendatang. Proses regenerasi dan rejuvinasi berlangsung dengan smooth, tanpa ada riak-riak politik tertentu, berkat visi ketaatan kader yang dibingkai oleh jatidiri Imamah-Jamaah. Sekalipun demikian, para kader Hidayatullah di cabang-cabang Hidayatullah tentu akan menghadapi situasi anomali, persepsi dan pengalaman negatif, atau bahkan dalam kondisi tertentu para petugas kader Hidayatullah di daerah merasa teralienasi dengan situasi-situasi absurditas yang ada, bisa jadi karena ada ketidakcocokan oleh kebijakan dan gaya kepemimpinan pemimpin di daerah.
Situasi itu kemudian memicu kondisi homestatis, yaitu terjadi proses dan mekanisme otomatis para kader atau Hidayatullah sebagai organisasi massa Islam secara umum untuk mempertahankan kondisi konstan, agar situasi psikologis kader atau roda organisasi dapat terus berfungsi dengan normal. Sehingga secara substantif, perhelatan akbar Silatnas menjadi ajang proses normalisasi kondisi homeostatis tersebut.
Kegiatan Silatnas yang sarat dengan aspek revitalisasi ruhani para kader, menjadi obat mujarab untuk memulihkan semangat kejuangan kader-kader Hidayatullah yang hadir, dan menjadi bekal terbaik untuk kembali bertarung di tempat tugas. Selain itu, Silatnas menjadi ajang pewarisan nilai-nilai dari para sesepuh Hidayatullah yang masih hidup, karena bisa dipastikan bahwa peserta Silatnas tahun ini akan didominasi oleh generasi kedua Hidayatullah yang sedang dalam usia produktifnya. Karena terkadang yang terbangun dalam state of mind generasi muda adalah nalar kritis dan not taken from granted, sehingga tidak mampu menyerap nilai-nilai esensial yang harus dimiliki oleh kader generasi penerus.
Akibatnya terjadi gap antara generasi tua dan generasi muda yang bisa memantik atau memicu perbedaan prinsipil, perselisihan, bahkan perpecahan, sebagaimana yang terjadi pada beberapa harakah Islam yang ada.
Nauudzu Billahi Min Dzaalik.